assalamualikum saudaraku muslim diseluruh dunia

>aku adalah aku jika aku diketahui kamu maka aku bukan aku siapakah aku ASSALAMUALAIKUM KAUM MUSLIMIN WAL MUSLIMAT ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA TIADA LAIN TIADA BUKAN HANYA UNTUK MENGENAL ALLAHSELAMAT DATANG DI MY BLOG JANGAN LUPA DIBACA,DIPAHAMI,DIKAJI DAN LIKE YA!!!!MISS ALLAH & MUHAMMAD
KULLU NAFSIN ZAIKATULMAUTingat dunia hanya sementara

silak te pade berajah lek de side allah

Thursday, 21 July 2011


SIAPAKAH SEORANG FAKIH ITU
Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda :
"Barangsiapa dikehendaki Allah untuk menjadi baik, maka Dia akan memberikan kepahaman (faqih) tentang agama."
(H.r. Bukhari Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, al-Bazzar, ath Thabrani).
Saya pernah mendengar dari Hasan al Bashri, bahwa pernah dikatakan padanya, "Si Fulan itu seorang faqih." Mendengar pernyataan itu ia lalu bertanya, "Apakah engkau pernah melihat orang yang benar-benar faqih? Sesungguhnya seorang yang benar-benar faqih adalah orang yang zuhud dalam hal dunia, rindu akan akhirat dan arif terhadap masalah keagamaannya." Firman Allah swt., "... untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama." (Q.s. at Taubah: 122).
Maka agama adalah sebuah nama yang mencakup seluruh aspek hukum, baik lahir maupun batin. Sementara itu, memperdalam (tafaqquh) hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai hal (kondisi spiritual) dan makna macam-macam maqam (kedudukan spiritual) sebagaimana yang saya sebutkan tidaklah kecil manfaatnya daripada memperdalam tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan hukum talak, pembebasan budak, zhihar, qishash, sumpah dan hukum pidana (hudud). Sebab hukum-hukum tersebut, bisa saja dalam seumur hidup tidak pernah ada kejadian yang membutuhkan pada llmu yang berkaitan dengannya. Kalaupun misalnya ada sebuah peristiwa, maka orang yang bertanya akan gampang mengikuti (taklid) dan mengambil pendapat sebagian para ahli fiqih. Dan akhirnya gugurlah kewajiban itu hingga terjadi sebuah peristiwa yang lainnya terjadi.
Sedangkan berbagai kondisi spiritual, kedudukan spiritual (maqamat) dan perjuangan spiritual (mujahadat) dimana kaum Sufi berusaha mendalami dan memahaminya, serta membicarakan tentang hakikatnya maka setiap mukmim selalu membutuhkannya setiap waktu dan wajib mengetahuinya. Tak ada waktu tertentu yang bersifat kondisional atau kasuistik, sehingga di waktu lain tidak diperlukan. Kondisi dan kedudukan spiritual, seperti kejujuran (ash shidq), Ikhlas, dzikir, menghindari kelalaian untuk berdzikir dan lain-lain, adalah tidak membutuhkan waktu tertentu. Akan tetapi wajib bagi semua hamba dalam setiap detik dan geraknya untuk mengetahui apa tujuan, kemauan dan yang terbersit dalam benaknya. Jika itu merupakan hak dan tanggung jawab, maka ia wajib melakukannya, dan jika berupa hal yang dilarang maka wajib menjauhinya.
Allah berfirman pada Nabi Nya:“Dan Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan untuk mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya, dan sementara keadaannya telah melewati batas." (Q s. al Kahfi: 28).
Orang yang meninggalkan salah satu dari berbagai kondisi spiritual sebagaimana yang telah disebutkan, hanyalah karena faktor kelalaian yang telah menyelimuti hatinya. Perlu Anda ketahui, bahwa hasil pemikiran kaum Sufi dalam memahami makna-makna ilmu ini dan mengetahui tentang selukbeluk dan hakikatnya, seharusnya lebih luas daripada hasil pemikiran para ahli fiqih dalam memahami makna-makna hukum zhahir (syariat). Sebab ilmu itu (tasawuf, red) tidak memiliki batas tertentu, karena merupakan isyarat, bersitan pada hati, kata hati, pemberian dan karunia yang direguk oleh para ahlinya dari lautan karunia Tuhan.
Sementara ilmu-ilmu yang lain memiliki batas tertentu. Dan juga semua ilmu akan bermuara pada tasawuf, sedangkan ilmu tasawuf hanya akan tetap bermuara pada ilmu tasawuf sendiri, yang tak memiliki batas tertentu, karena Dzat Yang dituju memang tidak memiliki batas. Ilmu ini (tasawuf, red) adalah ilmu futuh (yang Allah bukakan pada hati para wali Nya) dalam memahami firman-Nya dan mengambil kesimpulan dari isyarat seruan-Nya. Dia bukakan pintu-pintu ilmu itu menurut kehendak-Nya. Allah berfirman, "Katakanlah (wahai Muhammad): Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum (ditulis) kalimat kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (Q.s. al Kahfi: 109). Allah swt juga berfirman, “Andaikan kalian bersyukur maka akan Aku tambah (rahmat Ku)." (Q.s. Ibrahim: 7). Sementara tambahan dari Allah itu tentu tak ada batasnya. Sedangkan syukur adalah nikmat yang juga harus disyukuri, sehingga mengakibatkan adanya tambahan nikmat yang tak terbatas. Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.
(Diambil dari kitab "Al Luma" karya Syaikh Abu Nashr as Sarraj)iambil dari buku "Fatwa-fatwa Qardhawi"
Pertanyaan:
Apa sebenarnya arti kata tasawuf hakikat dan hukumnya menurut Islam?Apakah benar di antara orang-orang ahli tasawuf ada yang tersesat dan menyimpang?
Jawab: Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu. Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya. Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal. Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka, sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya: "Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya." Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang belum dilakukannya." Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan, "Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan mereka. Sabda beliau: "Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk golonganku." Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini. Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka. Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam). Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.
Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari kaum sufi. Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari. Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang halus dijadikan sumber hukum mereka. Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.
Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke Tempat Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah, "Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin." Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam. Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni. Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.

SELASA, 13 MEI 2008

Kesaksian Para Ulama Fiqih Tentang Tasawuf

Pembahasan disarikan dari kitab
"Miftah at Thariq - Pembuka Jalan Spiritual Thariqah Hasan wa Husein"
Bab.I, Tentang Tasawuf dan Thariqah
Sesungguhnya tasawuf adalah Islam, dan Islam adalah tasawuf. Untuk mencapai kesempurnaan ibadah dan keyakinan dalam Islam, seseorang hendaknya mempelajari ilmu tasawuf melalui thariqah-thariqah yang mu’tabar dari segi silsilah dan ajarannya. Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh thariqah yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan keilmuan yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk qalbun salim dan kesempurnaan ahlak, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh tasawuf yang sejati.
Empat orang imam mazhab Sunni, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah. Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.

Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) adalah murid dari guru kami Imam Jafar as Shadiq as. Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H) berkata, "Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar".

Imam Maliki (Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga murid guru kami Imam Jafar as Shadiq as, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.”
('Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan)

Imam Syafi'i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i) berkata, "Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam 'Ajluni, vol. 1, hal. 341)

Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka"
(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, "Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku ."
(I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)

Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, "Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi'in, dan tabi'it-tabi'in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia."
(Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328)

Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta'yad al haqiqat al 'Aliyyah, hal. 57 berkata, "Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid'ah."

Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : "Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi." Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, "Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka' bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.” Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma'ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa'i ra, dll.

Didalam kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128. Ibnu Taimiyyah berkata, “Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara dengan Malik, al Auza’i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma’ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama dengan mereka.” Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al Jauziyyah didalam kitab “Ar Ruh” telah mengakui dan mengambil hadits dan riwayat-riwayat dari para pemuka sufi.

Dr. Yusuf Qardhawi, guru besar Universitas al Azhar, yang merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini didalam kumpulan fatwanya mengatakan, “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.” Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari. “

Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh thariqah pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran, mereka tidak mengikuti jejak-jejak para ulama kaum salaf yang menghormati dan mengikuti ajaran tasawuf Islam.

Pentingnya Ilmu Tasawuf

Tugas-tugas syariah yang diperintahkan pada diri manusia terbagi menjadi dua. Pertama hukum-hukum yang berhubungan dengan aspek amaliyah lahiriyah, dan kedua hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah bathiniyah. Dengan kata lain ada aturan ibadah yang berhubungan dengan fisik, ada pula yang berhubungan dengan qalbu.

Amaliyah fisik terbagi dua. Perintah dan larangan. Perintah-perintah Ilahi di sini seperti sholat, zakat, haji dst. Sedangkan larangan seperti larangan membunuh, zina, mencuri, meminum khamar, korupsi dsb.

Hal yang sama dalam amaliyah Qalbu terbagi dua, perintah dan larangan. Perintah-perintahnya seperti Iman kepada Allah, Malaikat, kitab-kitabNya dan RasulNya, dsb. Seperti ikhlas, ridlo, syukur, jujur, khusyu’ dan tawakkal. Sedangkan larangan Qalbu seperti kufur, nifaq, takabur, ujub, riya’, iri dengki, ghurur, dendam dsb.

Bagian kedua inilah yang berhubungan dengan qalbu, lebih penting urgensinya dibanding yang pertama (amaliyah lahiriyah) – walaupun secara keseluruhan sama-sama pentingnya – karena alam batin itu merupakan fondasi alam lahir, sekaligus sebagai sumber aspek lahiriyah. Jika amaliyah batin rusak, akan rusak pula amaliyah lahiriyahnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Siapa yang menghendaki bertemu Tuhannya, hendaknya melakukan amliyah yang baik, dan sama sekali tidak menyekutukan Tuhan dalam ibadahnya.” (Al-Kahfi 110)

Oleh sebab itu Rasulullah saw, sangat menekankan kepada para sahabatnya agar memperbaiki qalbunya, dan menjelaskan bahwa kebaikan manusia itu sangat tergantung pada kebaikan hatinya, menyembuhkan hatinya dari penyakit-penyakit yang tersembunyi di dalamnya. Beliau bersabda: “Ingatlah sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah (hati), jika baik maka baiklah seluruh jasad, jika jelek maka jelek pula seluruh jasad. Ingatlah, segumpal darah itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari)

Begitu pula dalam hadits lain, Rasulullah saw, mengajarkan bahwa titik pandang Allah Ta’ala itu adalah qalbu. “Sesungguhnya Allah tidak memandang jasadmu dan rupamu. Tetapi Allah memandang pada hatimu.”

Maka, sepanjang manusia melakukan kebajikan yang berhubungan dengan qalbunya yang menjadi sumber amaliyah lahiriyahnya, maka menjadi keharusan bahwa dirinya harus menepiskan (takhalli) segala sifat yang tercela yang dilarang Allah, kemudian merias (tahalli) dengan sifat terpuji yang baik yang diperintahkan Allah kepada kita, maka pada saat itulah qalbu kita selamat dan sehat. Kita menjadi golongan yang beruntung, selamat pula, sebagaimana firmanNya:
“Di hari yang mana harta dan anak-anak tidak ada lagi gunanya, kecuali orang yang telah dianugerahi Allah dengan qalbu yang salim (selamat).” (Asy-Syu’ara’ : 88-89).

Imam Jalaluddin as-Suyuthy ra, mengatakan, “Sedangkan ilmu tentang qalbu dan mengenal penyakitnya, berupa iri dengki, ujub, dan riya’ serta semisalnya, maka Al-Ghazaly mengatakan, “Adalah Fardlu ‘Ain”.

Membersihkan qalbu, menyucikan jiwa termasuk fardlu paling utama dan merupakan kewajiban Ilahi dibalik perintahNya, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an:
“Katakan, sesungguhnya Allah mengharamkan keburukan-keburukan baik yang lahir maupun yang batin” (Al-A’raaf 33)
“Janganlah mendekati keburukan-keburukan baik yang tampak maupun tersembunyi (lahir dan batin)”. (Al-Anaam 151.)
Keburukan batin menurut para mufassir adalah dendam, riya’ dengki dan nifaq.

Sedangkan dari sunnah disebutkan:
Setiap hadits Nabi saw, yang menegaskan larangan tentang dendam, takabur, riya’ dan dengki, begitu juga hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk berias dengan akhlaq yang baik dan bekerja yang baik, maka semua itu mendukung pentingnya tasawuf.

Hadits Nabi, “Iman itu bercabang menjadi 70 cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan Laailaaha Illallah, dan paling rendah adalah menyingkirkan halangan dari jalan. Sedangkan malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesempurnaan iman itu sejauhmana seseorang itu berias dengan sifat-siat dari cabang iman itu, begitu juga iman berkurang manakala riasan cabang keimanan berkurang. Sedangkan penyakit-penyakit hati itu bisa menghapus amaliyah manusia, sebanyak apa pun amal yang dilakukan.

Ucapan para Ulama:
Para Ulama mengategorikan penyakit hati sebagai dosa besar yang membutuhkan taubat tersendiri.
Pengarang kitab Jauharatut Tauhid, bersyair:

Perintahlah kebajikan, jauhilah adu domba
Bergunjing dan perilaku tercela
Seperti ujub, kibir, dan virus kedengkian
Seperti riya’, hobi menghujat, maka
Camkanlah.

Pensyarah kitab tersebut – SyeikhAl-Bajury – menguraikan ketika mengulas masalah “perilaku tercela”, maksudnya adalah jauhilah setiap perilaku tercela secara syar’i, namun sesungguhnya pengarangnya lebih menekankan pada ketercelaan jiwa (cacat moral). Selebihnya adalah memberbaiki rupa fisik, sehingga harus dihindari misalnya memakai pakaian bagus bercampur dengan kotoran.

Termasuk perilaku tercela adalah merasa kagum diri (ujub) atas ibadah atau prestasi yang dimiliki. Seorang ahli ibadah akan ujub dengan ibadahnya, dan Ulama akan ujub dengan pengetahuannya, maka tindakan seperti itu haram, hal yang sama pada riya’, zalim, kontra kebenaran, dengki, pamer dan hobi debat.

Seorang faqih besar, Ibnu Abidin dalam catatannya yang popular “Hasyiyah Ibnu Abidin” mengatakan, “mengenal Ikhlas, Ujub, Riya’, Dengki, adalah fardlu ‘ain, begitu juga mengenal penyakit-penyakit jiwa seperti sombong, pelit, dendam, menipu, marah, membuat permusuhan, dendam, tamak, bakhil, boros, sok-sokan, pengkhianatan dan wah-wahan, sombong terhadap kebenaran dan rekayasa serta pengkhianatan, keras hati dan panjang angan-angan, dan sebagainya merupakan penyakit hati, yang dibedah dalam seperempat kitab bab perilaku yang menghancurkan, oleh Al-Ghazaly dalam kitab Al-Ihya’ disebutkan, “Sudah tidak ada alasan lagi untuk menolak, seharusnya siapa pun mempelajari penyakit-penyakit itu sebagai kebutuhan.”

Tentu saja menghilangkan penyakit tersebut – jika mempelajarinya saja fardlu ‘ain – juga hukumnya fardlu ‘ain. Karena tidak akan bisa menghilangkan kecuali mengenal diagnosanya, batasan dan sebab-sebabnya, tanda dan terapinya. Orang yang tidak mengenal keburukan akan terjerumus di dalamnya.

Syeikh Alaudiin Abidin dalam Al-Hadiyyatul ‘Alaiyah, mengatakan, “Sudah jelas nash-nash syariah, dan Ijma’ Ulama, atas haramnya dengki dan penghinaan terhadap sesama muslim, serta hasrat kebencian terhadap mereka. Begitu pula haram, takabur, ujub, riya’ dan munafiq, serta sejumlah hal-hal kotor dalam hati, bahkan pendengaran, mata dan hati kelak akan dimintai pertanggungjawaban, hal-hal yang pada dasarnya di bawah ikhtiar manusia.

Pengarang kitab Maraqil Falah, mengatakan,” tidak ada gunanya bersuci badan kecuali dengan bersuci batin melalui keikhlasan, kebersihan jiwa dari belenggu nafsu, penipuan, dendam dan dengki, serta membersihkan hati dari segala hal selain Allah, baik jagad dunia maupun jagad akhirat. Sehingga hamba hanya menyembah Dzat Allah, bukan karena sebab tertentu. Menyembah dengan penuh rasa butuh padaNya, dan Allah melalui anugerahNya memenuhi hajat para makhlukNya sebagai Kasih sayangNya. Karena itu dalam ibadahnya mestinya si hamba hanya menuju Yang Satu dan Yang Maha Tunggal, tidak ada satu pun selain Dia, begitu juga hawa nafsu anda tidak mempengaruhi diri anda ketika bakti kepadaNya.”

Penyakit hati ini sebagai faktor yang menyebabkan jauhnya hamba dengan Allah, menjauhkan pula dari syurgaNya. Rasulullah saw, bersabda, “Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya masih ada sebiji atom ketakaburan.”

Kadang manusia tidak mengenal cacat dirinya, bahkan penyakit itu telah menghujam dalam di hatinya, tetapi malah dirinya menganggap telah sempurna. Lalu apa yang akan ditempuh untuk mengenal penyakit-penyakit itu, mengenal detil dalam-dalamnya yang lembut, bagaimana pula terapinya dan mebersihkannya?

Sungguh, Tasawwuf adalah ilmu yang secara khusus mendisiplinkan pada upaya pembersihan hati, mengobati penyakit hati, menyucikan jiwa dan membuang sifat-sifat manusiawi yang hina.
Dunia Islam menjadi lemah justru ketika meninggalkan ruhul Islam, yang ada dalam dunia Sufi, bahkan dunia Islam hanya tersisa kulit-kulitnya, kerangka tanpa ruhnya.

Oleh karena itu kita melihat para Ulama yang mengamalkan ilmunya, para Mursyid yang cemerlang, senantiasa memberikan nasehat manusia agar memasuki dunia Sufi dan bermajlis dengan mereka, agar terpadu antara jasad Islam dan Ruh Islam, agar merasakan makna kebeningan hati yang luhur yang elok, dan merasakan ma’rifatullah dengan haqqul yaqin, sehingga mereka bisa berias dengan CintaNya, Muraqabah padaNya dan melanggengkan dzikir padaNya.

Hijjatul Islam Al-Ghazali mengatakan, ketika mendorong ummat untuk masuk ke dunia tasawuf dan merasakan buahnya, “Masuk dunia tasawuf itu Fardlu ‘Ain, karena setiap orang tidak akan mengenal cacat dirinya kecuali para Nabi – semoga sholawat dan salam pada mereka semua –“
Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily mengatakan, “Siapa yang tidak berkecimpung dalam ilmu kita ini (tasawuf) maka ia bisa mati dengan membawa dosa besar, sedangkan dia tidak mengerti….”
Dalam ucapan Syeikh ini, Ibnu ‘Allan ash-Shiddiqy berkomentar mengenai ungkapan Abul Hasan Asy-Syadzily, “Pribadi mana wahai saudaraku yang berpuasa tetapi tidak kagum dengan puasanya? Pribadi mana yang sholat tetapi tidak kagum dengan prestasi sholatnya? Begitu pula seluruh taat kita kepadaNya….”

Maka dari itu, ketika menempuh jalan seperti itu begitu sulit, bagi jiwa yang masih kurang pengetahuannya, setiap orang harus bisa melakukan mujahadah, kesabaran, sampai dia benar-benar selamat situasi yang membuatnya jauh dari Allah dan selamat dari amarahNya.
Fudlail bin ‘Iyadl mengatakan, “Seharusnya anda menekuni thariqat yang benar, dan anda jangan terpengaruh oleh jumlah minoritas para penempuh Jalan Allah. Hati-hati dengan jalan bathil, dan jangan tertipu oleh dukungan mayoritas pada kebanyakan penempuh jalan kebatilan.

Jika anda merasa terganggu oleh kesendirian anda, maka lihatlah kepada mereka yang menempuh Jalan Allah itu (para Sufi), bersegeralah menuju kepada mereka dan tutuplah mata anda dari yang lain ketika bersama, karena mereka tidak butuh sesuatu dari anda. Dan ketika mereka menggiring anda menuju jalan anda, jangan menoleh pada mereka, karena kalau anda menoleh pada mereka, mereka akan marah pada anda.”


(Hakikat Tasawuf - Syaikh Abdul Qadir Isa)

No comments:

Post a Comment

ALLAH DAN MUHAMMAD SELALU BERIRINGAN,DIAMANA ADA MUHAMMAD DISITU ADA ALLAH